Beranda | Artikel
Nafkah dan Tempat Tinggal bagi Wanita yang Ditalak Raji
Kamis, 11 November 2021

BAB III
POLIGAMI

Pasal 13
Nafkah dan Tempat Tinggal bagi Wanita yang Ditalak Raj’i
Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَاَحْصُوا الْعِدَّةَۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ رَبَّكُمْۚ لَا تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْۢ بُيُوْتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗ ۗ لَا تَدْرِيْ لَعَلَّ اللّٰهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذٰلِكَ اَمْرًا

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” [Ath-Thalaaq/65: 1]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan ayat di atas mengatakan, “Yakni, selama dalam masa ‘iddah dia masih berhak bertempat tinggal di rumah suaminya yang telah menceraikannya dan suaminya tidak boleh mengusirnya dari rumahnya itu. Di lain pihak, dia tidak boleh keluar dari rumah tersebut, karena dia masih terikat dengan hak suami.”

Dapat kami katakan, “Yakni, bagi wanita yang ditalak raj’i (masih boleh rujuk kembali), karena wanita yang sudah ditalak ba’in, tidak lagi mempunyai hak nafkah. Sebagaimana yang disebutkan di dalam Shahiih Muslim dari hadits Fathimah binti Qais bahwa Abu ‘Umar bin Hafsh pernah menalak ba’in kepadanya sedang dia tidak berada di tempat, lalu dia mengirimkan wakilnya kepada isterinya itu dengan membawa gandum, maka dia pun marah. Lalu Abu ‘Umar berkata, ‘Demi Allah, engkau tidak memiliki hak apa pun atas kami.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, lalu kuceritakan hal tersebut kepada beliau, maka beliau berkata, ‘Engkau sudah tidak mempunyai hak apa-apa atas dirinya.’”

Pasal 14
Nafkah bagi Wanita yang Ditalak Ba’in Tetapi dalam Keadaan Hamil
Allah Ta’ala berfirman:

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kalian tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” [Ath-Thalaaq/65: 6]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman seraya memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya, jika salah seorang dari mereka menceraikan isterinya, maka hendaklah dia menempatkannya di dalam rumah sehingga dia selesai menjalani masa ‘iddahnya, dimana Dia berfirman : أَسْكِنُوْا هُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ  ‘Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kalian bertempat tinggal.’ Maksudnya, di sisi kalian. مَاسْتَطَعْتُمْ  ‘Menurut kemampuan kalian.’ Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan beberapa ulama lainnya mengatakan, ‘Yakni, kesanggupan kalian.’ Sampai Qatadah mengemukakan, ‘Kalau memang kamu tidak mendapatkan tempat kecuali di samping rumahmu, maka tempatkanlah dia di sana.’”

Allah Ta’ala berfirman:

وَاِنْ كُنَّ اُولَاتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ

Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah di talak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka itu nafkahnya hingga mereka bersalin.” [Ath-Thalaaq/65: 6]

Banyak ulama, yang di antaranya Ibnu ‘Abbas dan sekelompok ulama Salaf serta beberapa kelompok ulama belakangan mengatakan bahwa hal itu berkenaan dengan wanita yang ditalak ba’in. Jika dia ditalak dalam keadaan hamil, maka dia harus diberi nafkah sehingga melahirkan. Dalam hal itu mereka berdasarkan pada dalil bahwa wanita yang ditalak raj’i itu harus diberi nafkah, baik dalam keadaan hamil atau tidak.”[1]

Pasal 15
Mut’ah (Pemberian) bagi Wanita yang Ditalak
Allah Ta’ala berfirman:

وَلِلْمُطَلَّقٰتِ مَتَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِۗ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ

“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang takwa.” [Al-Baqarah/2: 241]

Syaikh Musthafa al-‘Adawi hafizhahullah mengatakan, “Ayat mulia ini mengandung makna bahwa setiap wanita yang ditalak itu berhak mendapatkan mut’ah, baik ia sebagai wanita yang ditalak dengan keadaan sudah dicampuri maupun belum pernah dicampuri, baik wajib bagi wanita itu maupun tidak wajib baginya.

Ini pula yang menjadi pendapat Sa’id bin Jubair rahimahullah sebagaimana yang diriwayatkan darinya oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dengan sanad yang shahih (V/263).

Dan hal tersebut telah dikuatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah dan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Fathul Baari (IX/496). Dan itu pula yang menjadi pendapat Imam asy-Syafi’i rahimahullah.”[2]

Defenisi Mut’ah:
Ath-Thabari (V/262) mengatakan, “Yaitu apa yang dapat menyenangkan seorang wanita, baik itu berupa baju, pakaian, nafkah atau pelayan, dan lain-lain sebagainya yang bisa membuatnya senang.”

Ukuran Mut’ah:
Allah Ta’ala berfirman:

وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدَرُهٗ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهٗ ۚ مَتَاعًا ۢبِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ

“Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” [Al-Baqarah/2: 236]

Ath-Thabari rahimahullah (V/120) mengatakan, “Yakni, berilah mereka apa yang bisa membuat mereka senang dari harta-harta kalian sesuai dengan kemampuan kalian dan juga kedudukan kalian dalam hal kekayaan dan kemiskinan. Wallaahu a’lam.”

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
______
Footnote
[1] Ahkaam ath-Thalaaq fii asy-Syarii’ah al-Islamiyyah, karya Musthafa al-‘Adawi, hal. 177.
[2] Ahkaam ath-Thalaaq fii asy-Syarii’ah al-Islamiyyah, karya Musthafa al-‘Adawi, hal. 180.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/44268-nafkah-dan-tempat-tinggal-bagi-wanita-yang-ditalak-raji.html